“Ritual ini menekankan makna kebersamaan dan kekeluargaan sebagai masyarakat adat yang hidup bergantung pada musim bertani dan berladang,” kata Karolus menjelaskan.
Menurutnya, tradisi ini terus diwarisi setiap tahun sebagai bentuk syukur dan permohonan kepada leluhur, sebelum mereka membuka lahan baru.
Lebih lanjut kata dia, acara ini berpusat di rumah adat, dan selanjutnya dibuat di kebun adat.
“Acara ini mewajibkan semua penggarap dan Mosalaki untuk makan dari hasil Are Po’o (nasi yang telah dimasak dengan cara dibakar dalam bambu),” tuturnya.
Selain itu, kata Karolus, ritual adat ini disertai dengan larangan atau pantang adat (Pire), yang wajib dituruti oleh semua penggarap.
“Setelah upacara Ka Po’o, dilanjutkan dengan pelaksanaan Pire selama dua hari patangan. Ini bertujuan agar para penggarap menaati wejangan Mosalaki sebagai bentuk penghargaan terhadap warisan tradisi para leluhur, juga saat untuk menyiapkan segala peralatan berladang,” jelasnya.
Karena ada pantangan maka ada sanksi adat (Poi) oleh para Mosalaki. Pantangan dimaksud berupa larangan untuk tidak menyentuh atau memetik dedaunan tertentu, tidak boleh beraktivitas di kebun, tidak diperkenankan menjemur pakaian di luar rumah, serta bakar-bakaran di luar rumah.
“Selain sanksi adat, diyakini ada campur tangan leluhur,” katanya.