Dua Model Masyarakat dan Habitus Membaca-Menulis

- 22 Juni 2023, 17:11 WIB
Ilustrasi membaca buku.
Ilustrasi membaca buku. /Freepick

Berbeda dengan masyarakat pra-literer, masyarakat post-literer sudah lebih cakap dalam menulis dan membaca. Wawasan atau pengetahuan dari masyarakat post-literer sudah lebih jauh di depan ketimbang masyarakat pra-literer. Ketika masyarakat post-literer dihadapkan dengan kemajuan teknologi, mereka menanggapinya dengan bijak. Era digital menjadi ruang bagi mereka untuk giat membaca dan menulis artikel sebagai media untuk memperkuat pengetahuan dan pemahaman. Ini tidak diperhatikan dalam masyarakat pra-literer yang membangun fondasi begitu tinggi dan memberikan jarak dan relasi sosial antarsesama.

Setelah itu, pertanyaan mendesak yang patut diangkat adalah: Bagaimana kedua model masyarakat ini dapat membuka diri terhadap kemajuan di era digital ini? Jawaban sederhananya ialah dengan mencintai dan membiasakan diri. Kita butuh suatu habitus yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik. Pada dasarnya, dengan kunci dasar mencintai, seseorang akan tergerak dan kemudian terbiasa melakukan segala sesuatu yang baik. Namun membiasakan diri dengan kondisi baru adalah sebuah pencapaian yang membutuhkan proses.

Baca Juga: Kartu Prakerja Gelombang Baru Dibuka Awal Juni 2023, Catat Tanggal dan Cek Skema Terbarunya!

Setiap orang memiliki hak untuk mencapai keberhasilan dan kesuksesannya sendiri. Namun, untuk menuju sebuah kebiasaan hidup yang kuat dan konsisten, dibutuhkan perjuangan-perjuangan yang tidak mudah sebab ini menyangkut pemindahan kebiasaan lama ke kebiasaan baru dan menjadikannya gaya hidup (life style). Masyarakat pra-literer harus membiasakan diri untuk membaca dan menulis dan berjuang menuju masyarakat post-literer. Untuk itu, mereka perlu keluar dari dalam kemelut “lingkaran setan” dan menuju kenyataan baru yang lebih terang. Habitus membaca dan menulis harus ditanam kuat, karena dengan membaca dan menulis, setiap orang berpeluang menjadi seorang sejarahwan. Ketika seseorang sudah menulis, akan ada banyak yang membacanya. Nama dan tulisan tersebut akan senantiasa hidup dalam ingatan para pembaca. Sebab, seorang penulis adalah sang pencetak sejarah sejati.***

Jofan Kleden - Alumnus Seminari Hokeng; Sedang Menjalani Studi Komunikasi di Unika-Kupang

Halaman:

Editor: Ade Riberu


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah