Mengenal Tarian Tiba Meka yang Bakal Mewarnai Acara Penyambutan Tamu KTT ASEAN 2023 di Labuan Bajo

3 Mei 2023, 11:47 WIB
Tarian Tiba Meka, tari tradisional dari Manggarai untuk menerima para tamu. /Tangkap Layar YouTube Labuan Square

FLORES TERKINI – Tiba Meka, salah satu tarian tradisional dari Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), bakal ikut meramaikan kegiatan KTT ASEAN 2023 di Labuan Bajo. Berikut informasi terkait tarian Tiba Meka yang ternyata memiliki makna khas atau unik dan mendalam.

Sebelumnya, Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi telah mengkonfirmasi jika pemerintah daerah telah menyiapkan tiga tarian tradisional yang akan ditampilkan untuk menyambut tamu yang menghadiri kegiatan KTT ASEAN 2023 tersebut. Salah satu di antaranya adalah tarian Tiba Meka.

"Ada tiga tarian tradisional yang kita siapkan untuk sambut tamu-tamu," kata Wagub NTT pada Selasa, 2 Mei 2023, dilansir dari ANTARA.

Baca Juga: Sekilas Sejarah Tarian Adat Lepa Bura di Sulengwaseng, Ternyata Ini Asal Mula Kisahnya

Josef Nae Soi merincikan, ketiga tarian tradisional tersebut adalah tarian Tiba Meka, Rangkuk Alu, dan Caci. Secara umum, Josef Nae Soi menjelaskan bahwa tarian tradisional yang disiapkan ini pada intinya bermakna tentang kegembiraan warga di daerah menyambut para tamu.

"Bahkan seperti pada tarian Tiba Meka itu makna filosofi tidak hanya manusia NTT yang menerima tamu, tetapi seluruh alam semesta di NTT menerima para tamu," ujarnya.

Dilansir dari berbagai sumber yang valid dan terverifikasi, berikut selengkapnya ulasan terperinci dan lebih detil terkait tarian Tiba Meka yang akan turut mewarnai KTT ASEAN 2023 di Labuan Bajo.

Baca Juga: Tarian Wede dan Ue Bikin Warga Merinding di Momen Penjemputan Imam Baru Pater Gervas Kenoba

Makna Tiba Meka

Pada dasarnya, tarian Tiba Meka tidak lepas dari ritus khas masyarakat Manggarai dengan nama serupa tarian tradisional dimaksud. Ritus Tiba Meka – begitu juga tarian Tiba Meka – sama-sama merupakan tata cara masyarakat Manggarai dalam menerima tamu, terutama tamu-tamu yang dianggap sebagai orang-orang ‘penting’ dan ‘agung’. Ritus dan tarian ini ditampilkan untuk mempererat persaudaraan dan memupuk silaturahmi antara warga dengan para tamu yang berkunjung.

J.A. Verheijen dalam bukunya yang berjudul Kamus Manggarai-Indonesia yang diterbitkan pada tahun 1967, menjelaskan bahwa istilah Tiba Meka dibentuk oleh dua kata, yakni tiba dan meka. Tiba berarti terima, menadah, tangkis, setuju atau menyambut. Sedangkan meka berarti tamu. Jadi, Tiba Meka berarti menerima atau menyambut tamu.

Baca Juga: Tarian Hegong Tampil di City Tour Peserta IAWP di Labuan Bajo, Simak Makna Setiap Gerakannya

Menurut Verheijen, istilah Tiba Meka juga dipakai untuk menyambut kelahiran seorang anak manusia. Karena itu, anak yang baru lahir disebut meka weru (tamu yang baru dilahirkan).

Sementara itu, Pius Pandor dalam bukunya yang berjudul Menyambut dan Memuliakan Sesama dalam Ritus Tiba Meka Orang Manggarai (2015, halaman 210), menjelaskan beberapa maksud kedatangan tamu dalam sebuah kampung atau oleh masyarakat Manggarai disebut beo. Berikut ulasannya.

Pertama, meka lako lejong. Meka lako liba (tamu yang secara kebetulan mampir di suatu kampung) yaitu mereka yang melintasi sebuah kampung untuk menjual barang-barang dagangan (meka ata pika barang), untuk mencari kuda atau kerbau (meka ata kawe kaba agu jarang), dan untuk sekadar singgah minum (meka ata masa wae).

Baca Juga: Warga Adonara Gelar Tarian Hedung Massal Selama Lima Pekan sebagai Hiburan Rakyat

Kedua, meka ata poli reke be olon (tamu yang terlebih dahulu berjanji untuk datang ke suatu kampung). Meka jenis kedua ini adalah mereka yang datang ke sebuah kampung karena ada keperluan seperti tamu pemerintah, tokoh agama, atau lembaga sosial kemasyarakatan yang memang datang karena ada urusan yang terkait dengan keluarga atau kampung yang bersangkutan.

Ketiga, meka lejong toe reke, yaitu tamu yang datang tanpa pemberitahuan sebelumnya, seperti mereka yang menjadi petualang atau sekadar rekreasi.

Dari tiga jenis tamu berdasarkan tujuannya tersebut, yang biasanya diterima secara adat adalah meka ata poli reke be olon, yakni tamu yang sudah berjanji untuk datang ke suatu kampung atau beo. Meski demikian, tamu yang termasuk dalam bagian ini pun dikelompokkan lagi ke dalam beberapa jenis.

Baca Juga: Asal Mula Kerajaan Manggarai, Ada Kampung Todo dengan Meriam Kuno hingga Tarian Caci

Pertama, meka ata undang lite, yakni tamu yang diundang dalam upacara adat seperti penti (syukur atas panen), randang, caci wagal (syukuran perkawinan), cear cumpe (upacara pemberian nama), dan sebagainya.

Kedua, meka ata manga perlu agu ite, yaitu tamu yang ada keperluan khusus dengan seseorang, misalnya meka mai undang ite kudut ikut acara dise (tamu yang datang untuk mengundang kita untuk menghadiri acara mereka), anak rona mai sida (keluarga laki-laki pihak istri meminta dukungan dan doa dan dukungan), anak wina lamar anak dite (keluarga yang datang melamar anak perempuan kita), dan sebagainya.

Ketiga, meka pemerintah atau tokoh agama dan masyarakat. Biasanya golongan tamu ini datang untuk memberi dukungan material maupun spiritual demi kemajuan sebuah kampung.

Baca Juga: Budaya Masyarakat Raja Ampat yang Terkenal, Ada Tarian Tradisional Bintaki

Tarian Tiba Meka

Perlu digarisbawahi terlebih dahulu bahwa di bagian ini akan diulas secara khusus mengenai tarian Tiba Meka, mencakup penarinya, atribut yang digunakan, dan bagaimana tarian tradisional ini ditampilkan.

Hal ini terasa penting, lantaran ada perbedaan mendasar antara tata cara pelaksanaan ritus Tiba Meka dan tarian Tiba Meka itu sendiri. Singkat kata, ulasan berikut hanya terfokus pada penampilan tarian Tiba Meka.

Dirangkum dari portal nttsatu.com, atraksi awal tarian Tiba Meka dimulai oleh seorang penari pria yang disebut Pemaka. Pemaka tampil menggunakan sundang, yakni sebilah parang berbentuk panjang dan tajam ala Manggarai.

Baca Juga: Tarian Gemu Famire Bawa Sikka Jadi Tuan Rumah Kontes Tari Indonesia

Dengan gagah berani dan gerakan yang indah terpadu diiringi irama musik tradisional setempat, ia menyambut sang tamu dengan cara melakukan gerakan serupa aktivitas memotong sebanyak tiga kali, dengan jarak kurang lebih 2 meter di depan tamu.

Sesudah itu, Pemaka melanjutkan bagiannya dengan menghentakkan kakinya sambil berteriak, kemudian melakukan gerakan membabat di samping kiri dan kanan tamu.

Kemudian giliran para penari putri dengan lenggak-lenggok diiringi musik tradisional maju ke depan Wisi Loce dan membuat gerakan membentangkan tikar.

Selanjutnya, para penari tersebut melakukan Paneng Cepa, yakni sebuah gerakan indah memberikan sirih pinang kepada tamu. Lalu, dengan penuh riang dan gembira mereka melakukan Congkas Sae, yaitu gerakan tari etnik Manggarai diiringi irama Ndundake berupa lantunan musik gong dan gendang.

Baca Juga: Konten Artis TikTok Kebanyakan Berisi Tarian, Ternyata Ini Manfaatnya untuk Kesehatan

Alur Tarian Tiba Meka

Secara lebih terperinci, Lasarus Tamat, seorang pelatih dan juri perlombaan seni tari tradisonal pada beberapa event festival budaya di Manggarai, menguraikan alur tarian Tiba Meka yang telah didesain dan dikreasikan dari tradisi asli orang Manggarai, seperti dilansir dari nttsatu.com.

Pertama, Wur Poti. Pada bagian ini, Pemaka tampil dengan sebilah keris atau pedang sembari mengambil jarak sekitar 2 meter di depan tamu lalu membuat gerakan seperti dijelaskan terdahulu. Atraksi ini biasanya terjadi di pintu gerbang masuk menuju kampung, dengan tujuan mengusir roh-roh jahat.

Kedua, Tuak Curu. Tuak Curu adalah semacam minuman keras produksi masyarakat lokal yang lazimnya disebut moke, disuguhkan bagi para tamu sebagai bentuk penyambutan.

Baca Juga: SMKS Syuradikara Adakan Lomba Menyongsong Hardiknas, Ada Menulis Ilmiah hingga Tarian Hegong dari Maumere

Ketiga, Ronda dan Danding. Tamu kemudian diarak oleh masyarakat kampung menuju Mbaru Gendang (rumah adat), didampingi regu ‘ronda’ untuk bergembira bersama dengan tamu. Tarian tradisional dengan formasi dua baris ini diringi juga dengan lantunan lagu dan sebuah gong kecil, mempunyai makna bahwa warga setempat menyambut tamu dengan hati riang gembira.

Keempat, Manuk Kapu dan Wisi Loce. Setelah sampai di dalam rumah adat, tamu dipersilakan duduk kemudian disambut dengan acara Manuk Kapu, yaitu ritus penyambutan tamu dengan sarana ayam jantan putih. Ritus ini melambangkan bahwa warga kampung menerima tamu dengan hati bersih sebersih bulu ayam jantan putih tersebut.

Kelima, Paneng Cepa. Para tamu dipersilakan duduk di atas tikar yang sudah disediakan, lalu dilanjutkan dengan Paneng Cepa di mana para ibu akan menyuguhkan sirih pinang kepada para tamu. Hal ini bermakna ada nuansa kebersamaan dan kekeluargaan dengan tamu yang datang ke tempat itu.

Setelah itu, para tamu bercanda bersama tokoh adat setempat sambil minum kopi dan makanan tradisional Manggarai seperti sombu, boko, depek. Semua suguhan ini berbahan dasar dari jagung. Secara khusus depek berasal dari jagung muda yang ditumbuk lalu dibungkus dengan kulit jagung kemudian dikukus.

Baca Juga: Turut Berduka! Karena Kelelahan dan Punya Riwayat Asma, Seorang Pendaki Dilaporkan Tewas di Gunung Rinjani

Busana Tarian Tiba Meka

Lasarus menjelaskan, dalam tarian Tiba Meka, penari menggunakan aksesoris dan busana adat Manggarai, baik itu penari putri maupun pria. Hal ini menunjukkan kekhasan masyarakat Manggarai di mata tamu yang datang.

Dituturkan Lasarus, penari putri memakai mbero, yaitu busana adat untuk wanita berupa kain tenun ikat songke Manggarai, selendang motif songke dan bali-belo yang merupakan mahkota kecantikan bagi wanita Manggarai.

Sementara itu, kaum pria mengenakan baju putih lengan panjang, celana panjang bewarna putih serta memakai tenun ikat songke, dengan aksesoris berupa selepe yaitu ikat pinggang adat Manggarai dilampini selendang curuk pada bagian pinggang.

Baca Juga: Obyek Wisata Populer di NTT yang Wajib Dikunjungi, Cocok Untuk Mengisi Libur Lebaran

Kemudian ada juga sapu curuk atau destar yang merupakan aksesoris kepala bagi pria dan tubi rapa berupa anyaman tradisional sebagai aksesoris di bagian dagu yang melambangkan kejantanan seorang pria Manggarai.

Sisi Lain Tarian Tiba Meka

Menurut Lasarus yang juga merupakan seorang pembina dan pelatih seni tari Sanggar Cahir Nai, tarian Tiba Meka pertama kali dirintis oleh Sanggar Lawe Lenggong sekira 20-an tahun lalu.

Konon, tarian Tiba Meka dimulai ketika masyarakat Manggarai menyambut para misionaris yang datang mewartakan kabar gembira dan menyebarluaskan agama Katolik di wilayah itu pada ratusan tahun lalu.

Baca Juga: Ini 5 Museum Unik Jakarta, Bisa Jadi Ide Liburan Lebaran Ciamik Sekaligus Menambah Ilmu Pengetahuan

Kini, ritus ini terus dipertahankan di Manggarai ketika menyambut para tamu agung seperti uskup, imam Katolik yang baru ditahbiskan, dan pejabat penting dari kerajaan, daerah, atau negara.

Bahkan, tarian Tiba Meka saat ini terus dilestarikan oleh para generasi penerus dan pencinta budaya Manggarai di beberapa sanggar budaya, salah satunya yang akan tampil di acara penyambutan para tamu KTT ASEAN 2023 di Labuan Bajo.

Lasarus mengakui bahwa seiring dengan perkembangan zaman, alur penampilan tarian Tiba Meka sesuai tradisi asli Manggarai pelan-pelan mulai memudar. Beberapa urutannya tidak lagi natural, di mana ada bagian tertentu dari ritus ini perlahan mulai hilang.

Baca Juga: Intip Eksotisnya TAFA di Fatukoa-Kupang, Rekomendasi Lokus Wisata di NTT yang Bisa Bikin Kamu Betah

Misalnya, sundang sudah mulai jarang digunakan oleh masyarakat setempat ketika menyambut tamu agung. Kadang, masyarakat menggunakan kope banjar (parang biasa), ndeki (salah satu perlengkapan tarian Caci), atau pun keris.

“Karena kelangkaan sundang, sekarang lebih banyak masyarakat menggunakan keris pusaka," kata Lasarus yang juga merupakan mantan anggota Sanggar Lawe Lenggong itu.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian terdahulu, jelas bahwa tarian Tiba Meka ditampilkan sebagai sebentuk penyambutan dan penghargaan terhadap tamu baru yang datang ke Manggarai. Tarian ini diperagakan untuk menyambut tamu agung yang datang mengunjungi wilayah Manggarai.

Baca Juga: 5 Fakta Unik Soal Jong Dobo, Destinasi Wisata Budaya di Sikka-Flores yang Terkenal Magis dan Sakral

Di sisi lain, tarian penyambut tamu atau Tiba Meka merupakan pengejawantahan dari nilai luhur adat Manggarai yang sudah diwariskan secara turun temurun.

Tarian ini yang menunjukkan bahwa masyarakat setempat tetap berusaha mempertahankan nilai-nilai lokal yang luhur dan mengedepankan kekeluargaan ini juga merupakan sarana edukasi, sekaligus mengandung nilai karakter bagi orang Manggarai dan tamu yang datang seperti keterbukaan, keakraban, kerendahan hati, kehormatan, tanggung jawab, kepedulian, dan sopan santun.

Nilai-nilai tersebut ditanam melalui budaya saling menyapa sesama dalam berbagai situasi, juga dalam bentuk kepedulian terhadap sesama serta saling berbagi kebahagiaan.

Terakhir sebagai catatan tambahan, sebuah tarian tidak ada nilainya dan tidak menarik bagi banyak kalangan jika sekadar ditarikan. Namun, sebuah tarian kalau ditampilkan lengkap dengan narasinya seperti halnya tarian Tiba Meka maka tarian tersebut akan memiliki makna, dan pesannya akan sampai kepada audiens atau penontonnya.***

Editor: Ade Riberu

Tags

Terkini

Terpopuler