Air itu kemudian diserahkan kepada suku Belang Bunu Matan Napo Keri Tego untuk dibawa ke kampung. Dalam sejarahnya, suku ini datang bersama-sama dengan suku Lion dari gunung ke Kampung Lewonama.
Meski begitu, agar air bisa masuk ke kampung, suku Werang Lama Hodu Nua Lama Lerek pun mengambil perannya sebagai suku yang bertugas membuka ‘pintu gerbang’, ditandai dengan ritual pengguntingan pita yang terbuat dari tali-temali hutan.
Pada akhirnya, seluruh masyarakat Lewonama menyambut kedatangan air di tengah kampung dalam sebuah perarakan panjang yang meriah, diiringi dengan tarian Hedung dan Selen oleh segenap komunitas suku yang menghuni kampung tersebut.
Baca Juga: Semarak Hari Sumpah Pemuda 2023: SMA Stella Gratcia Atambua Gelar Pentas Seni Budaya
Air itu lalu diarak bersama-sama menuju Lango Belen Suku Pulo Wun Lema, yakni rumah adat milik seluruh suku di Lewonama yang letaknya persis di tengah-tengah kampung.
Setelah beberapa saat ditakhtakan, air kemudian dibagi-bagikan untuk dikecapi oleh para pemangku kepentingan, di antaranya Kabelen Lewo (orang terhormat di kampung), para kepala suku, pemerintah desa, perwakilan dari delapan suku yang mendiami komunitas adat Lewonama, dan Ribu Ratu (masyarakat adat).
Makna Ritual Hode Kebarek
Agustinus Penoli Lion selaku salah satu tokoh adat Kampung Lewonama menjelaskan, pada hakikatnya ritual Hode Kebarek dimaksudkan untuk mengakui sekaligus menghormati 'Sang Pemilik Air', yakni Lera Wulan Tana Ekan yang diakui dan diyakini sebagai Wujud Tertinggi oleh masyarakat setempat.
Masyarakat adat Kampung Lewonama meyakini, kehadiran air di kampung itu tidak lepas kekuatan alam yang dikuasai sepenuhnya oleh Lera Wulan Tana Ekan. "Ritual ini menggambarkan keyakinan terhadap kekuatan alam," kata Agustinus.