Tidak Semua Anak Bertubuh Pendek Alami Stunting, Kok Bisa?

24 Februari 2022, 20:29 WIB
Ilustrasi Stunting. /Tangkap Layar Youtube Direktorat Promkes dan PM Kemenkes RI

FLORES TERKINI - Salah satu masalah kesehatan terkait gizi dan tumbuh kembang anak yang sedang dihadapi Indonesia adalah persoalan stunting.

Dikutip dari p2ptm.kemkes.go.id, stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang ditandai dengan tubuh pendek.

Umumnya, penderita stunting rentan terhadap penyakit, memiliki tingkat kecerdasan di bawah normal serta produktivitas rendah.

Baca Juga: 11 Tahun Mengabdi, Guru SD di Solor Barat Ini Ungkap Kondisi Rumahnya yang Memprihatinkan

Sementara tingginya prevalensi stunting dalam jangka panjang akan berdampak pada kerugian ekonomi bagi Indonesia.

Khusus di Indonesia, prevalensi stunting berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) 2016 mencapai 27,5 persen.

Padahal menurut WHO, masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap kronis bila prevalensi stunting lebih dari 20 persen.

Baca Juga: Tanggapi Invasi Rusia, Presiden Ukraina Siap Bekali Warganya dengan Senjata

Itu berarti, secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis, terlebih lagi di 14 provinsi yang prevalensinya melebihi angka nasional.

Meskipun ciri utama stunting ditandai dengan tubuh pendek, namun tahukah Anda bahwa tidak semua anak bertubuh pendek mengalami stunting?

Dokter Spesialis Anak Konsultan Endokrinologi, Prof. dr. Madarina Julia, Sp.A(K), MPH., Ph.D., mengatakan bahwa tidak semua anak pendek (stunted) mengalami stunting, meskipun anak stunting selalu berperawakan pendek.

Baca Juga: Jerinx SID Dipidana Penjara Satu Tahun Lebih Ringan dari Tuntutan JPU

Menurutnya, definisi pendek dan stunting sebenarnya memiliki perbedaan, dengan merujuk pada definisi yang diberikan WHO dan UNICEF.

“Pada anak pendek, hanya ada gangguan pertumbuhan. Sedangkan definisi stunting berkaitan dengan pendek dan asupan nutrisi yang buruk, infeksi yang berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak adekuat,” kata Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesahatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM itu, sebagaimana dikutip dari ANTARA.

Lebih lanjut kata dia, anggapan umum masyarakat bahwa pendek sama dengan stunting adalah persepsi yang keliru, yang bisa saja menghasilkan diagnosis hingga penanganan yang keliru pula.

Baca Juga: Fakta atau Hoaks? 15 Menit Sesudah Divaksin Covid-19, Seorang Pasien Langsung Meninggal Dunia

“Sering kalau mendiagnosis stunting, kita cenderung memberikan tambahan makanan atau tambahan kalori. Nah, kalau kita salah mendiagnosis dan memberikan tambahan makanan atau kalori kepada anak yang sebetulnya bukan stunting, apa yang akan terjadi? Kita akan mendapatkan makin banyak obesitas,” ujarnya.

Karena itu, dr. Madarina menegaskan pentingnya melihat aspek-aspek lain sebelum memberi diagnosis pada anak yang dicurigai mengalami stunting.

Dia pun membeberkan, kecurigaan diagnosis stunting dapat dilakukan melalui beberapa tahap. Apabila anak pendek-kurus dengan gangguan perkembangan, maka tampaknya memang dia menderita stunting.

Baca Juga: Sinopsis Ikatan Cinta Jumat 25 Februari 2022: Aldebaran Belikan Si Nenek Penolong Reyna Kursi Roda

“Tapi kalau dia pendek dan tidak kurus, maka tampaknya bukan stunting. Apalagi kalau pendek, tidak kurus, dan tanpa gangguan perkembangan, maka jelas bukan stunting,” paparnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, sebelum memberikan diagnosis, terdapat beberapa langkah pemeriksaan dini yang bisa dipantau melalui buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), yang didukung oleh Kartu Kembang Anak (KKA) yang telah disediakan oleh Kementerian Kesehatan dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Di dalam KIA, ujar Madarina, telah mencakup instrumen pengukuran pertumbuhan dan perkembangan anak yang menggunakan kurva WHO.

Baca Juga: Sinopsis Dewi Rindu Jumat 25 Februari 2022: Rindu Menghilang, Angela Gilsha Kangen Berat

Selanjutnya, pemeriksaan dini melalui KIA dilakukan dengan melihat tiga komponen, mencakup tinggi badan (pendek atau tidak), berat badan (kurus atau tidak), dan lingkar kepala.

Komponen-komponen pengukuran itu harus memenuhi nilai yang ditetapkan WHO Child Growth Standards.

Sementara pemeriksaan dengan KKA, bisa dilakukan dengan membuat penilaian apakah anak tersebut berkembang dengan baik atau tidak.

“Berkembang itu artinya apakah dia sudah mulai duduk atau tengkurap pada waktu yang benar, apakah dia sudah mulai ngoceh, bergaul, atau berteman; apakah dia sudah bisa merespon terhadap senyuman dan sebagainya,” pungkasnya.***

Editor: Ade Riberu

Sumber: ANTARA Kemkes.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler