Tingkat ASI Ekslusif Meningkat Tapi Stunting Masih Tinggi di Beberapa Wilayah, Ternyata Ini Alasannya!

- 26 Januari 2024, 20:29 WIB
Ilustrasi. Seorang ibu sedang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.
Ilustrasi. Seorang ibu sedang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. /

FLORESTERKINI.com – Dalam beberapa tahun terakhir, tren pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif terus mengalami peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan persentase pemberian ASI eksklusif nasional terus meningkat dalam empat tahun terakhir.

Dikutip dari laman BPS, persentase pemberian ASI eksklusif di dalam negeri mencapai 72,04% dari populasi bayi berusia 0-6 bulan pada 2022. Angka itu meningkat 0,65% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) yang sebesar 71,58%.

Menariknya, provinsi dengan persentase pemberian ASI ekslusif tertinggi adalah Nusa Tenggara Barat (NTB), sekaligus juga menjadi provinsi yang berada pada urutan keempat stunting tertinggi di Indonesia, yaitu 32,7%. Padahal, pemberian ASI ekslusif diyakini syarat mutlak untuk pencegahan stunting.

Baca Juga: Terdampak Erupsi Gunung Lewotobi dan Sedang Mengungsi, Anggota KPPS Dulipali hingga Nurabelen Dilantik

Ketua DPN Bidang Kesehatan Perempuan dan Anak Repdem Rusmarni Rusli mengatakan, anomali ASI ekslusif dan stunting di NTB harus menjadi perhatian pemerintah.

“Selama ini pemerintah selalu berlindung di balik ASI ekslusif sebagai cara mengatasi stunting. Seolah-olah para ibu yang tidak mampu memberikan ASI untuk anak. Padahal ada persoalan lain di sini yaitu kecukupan gizi. ASI saja tidak cukup bila asupan gizi tidak seimbang,” jelas Rusmarni dalam keterangannya belum lama ini.

Di sisi lain, aktivis yang akrab di sapa Marni ini juga mengatakan, bicara tentang ASI juga tidak terlepas dari hak-hak perempuan, terutama perempuan pekerja yang hingga saat ini masih diabaikan oleh negara.

Baca Juga: Seputar ‘Ratu Adil’! Begini Transformasi Dian Sastrowardoyo dari IRT Menjadi Perempuan yang Luar Biasa

“Agar anak tidak stunting, ibu wajib memberikan ASI ekslusif selama enam bulan. Sementara, hak cuti melahirkan pegawai yang ditanggung negara hanya tiga bulan. Artinya, selama 3-4 bulan selanjutnya, para ibu bekerja ini harus berjuang sendiri demi memberikan ASI, bisa tuntas bisa juga gagal bila tidak memiliki support system yang baik,” kata Marni.

Menurutnya, yang lebih memprihatinkan adalah perempuan dan ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik, lebih minim lagi perlindungannya. Ada sekitar 20% atau 10 juta perempuan bekerja sebagai tenaga produksi (pabrik).

“Artinya, anak-anak dari 10 juta ibu ini berisiko tidak mendapatkan ASI secara ekslusif,” ujar Marni.

Baca Juga: Indonesia Catat Sejarah Baru Usai Lolos ke Babak 16 Besar Piala Asia 2023, STY: Tuhan Tahu Kerja Keras Kita

Karena itu, Marni berharap pemerintah dan para stakeholder dapat mengatasi persoalan ASI dan stunting dari akarnya seperti ekonomi, edukasi masyarakat serta lingkungan dan support system yang baik untuk ibu.

“Tidak hanya perempuan yang bekerja, bahkan ibu rumah tangga pun berisiko gagal memberikan ASI ekslusif, karena banyak faktor. Karena itu yang dibutuhkan adalah regulasi yang melindungi perempuan, terutama ibu bekerja,” imbuhnya.

Nurul Yani, misalnya. Penjual perabot rumah tangga ini mengaku mengalami kesulitan memberikan ASI eksklusif untuk putrinya karena ASI-nya terus-menerus berkurang. Ia bahkan sudah berupaya memenuhi asupan gizi dengan tambahan booster ASI.

Baca Juga: Sinopsis Harus Kawin Episode 3: Intrik Cinta dan Konflik Pribadi yang Semakin Memanas

Namun, tuntutan dan lingkungan kerja tidak leluasa bagi Yani untuk melakukan pumping ASI. Ia akhirnya terpaksa menambahkan susu formula agar kebutuhan gizi putrinya terpenuhi.

“Bagaimanapun saya juga harus bekerja, tidak bisa hanya mengandalkan penghasilan suami saja,” ujar Yani.

Tak jauh berbeda, Nurlaila, seorang karyawan perusahaan teknologi di Jakarta, mengaku akhirnya ia memberikan susu formula untuk anak keduanya saat harus kembali bekerja.

“Awalnya sempat berusaha pumping ASI di kantor. Tapi lama-lama stres juga, rajin pumping tapi ASI semakin sedikit dan tidak cukup. Akhirnya saya menguatkan diri untuk mengabaikan perkataan orang lain yang menyayangkan saya terpaksa memberikan susu tambahan. Saya pikir, ketenangan ibu lebih penting daripada memaksakan hal yang malah membuat pikiran saya menjadi berantakan,” jelas Nurlaila.

Baca Juga: 3 Nelayan Asal Rote Ndao Terancam Hukuman Mati, Apa Sebab?

Suci, seorang guru paruh waktu dari Desa Curug Bitung Nanggung, juga menghadapi tantangan saat harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan tiga bulan. Minim fasilitas penyimpanan ASI perah membuatnya memberikan susu formula untuk anaknya.

“Pasti semua ibu ingin yang terbaik untuk anaknya, semua ingin kasih ASI. Tapi kalau tidak memungkinkan bagaimana? Yang penting anak saya dapat tumbuh dengan sehat,” jelas Suci.

Demikian juga, Ida, seorang ibu rumah tangga dari Desa Barengkok, Bogor, Jawa Barat yang tidak dapat memberikan ASI sejak lahir, sebab ia mengalami pembengkakan payudara.

Namun kendala finansial membuatnya tidak bisa memberikan susu formula untuk sang anak. Alhasil, Ida mengalihkan kebutuhan anaknya ke susu yang lebih terjangkau penghasilan keluarganya, yaitu kental manis.

Baca Juga: ‘Harus Kawin’ Tembus 15 Juta Penonton di Episode Ketiga, Kisah Penuh Intrik Plus Humor Jadi Pemicu?

Serupa denga Ida, Euis dari Desa Cibeber yang sehari-hari bertani pun memilih susu kental manis. Ia mengaku tak bisa memenuhi kebutuhan ASI untuk sang anak, namun juga harus mempertimbangkan jatah pengeluaran keluarga.

Euis mengaku, dengan memberikan susu kental manis untuk sang bayi dapat menggantikan ASI. Sangat disayangkan, kedua ibu muda itu tidak menyadari risiko tingginya kandungan gula pada produk susu kental manis yang dikonsumsi oleh anaknya 2-4 kali sehari.

Terhambatnya pemberian ASI selama ini kerap dikaitkan dengan keberadaan susu formula. Jika berkaca pada kisah sejumlah ibu di atas, terdapat persoalan lain yang mengakar ketimbang mengambinghitamkan susu formula, yaitu minimnya regulasi yang dapat melindungi perempuan.

Dilansir dari laman WHO, lebih dari setengah miliar perempuan pekerja tidak mendapat perlidnungan maternitas. Karena itu, dalam pekan ASI 2023 yang berlangsung pada 1-7 Agustus kemarin, WHO mendesak peluang strategis untuk mengadvokasi hak-hak pekerja yang penting untuk keberhasilan menyusui, termasuk cuti melahirkan minimal selama 18 minggu, idealnya lebih dari enam bulan, dan kebijakan pendukung setelahnya di tempat kerja.

Baca Juga: Cerita Ibu-ibu di Sikka! Sempat Bangkrut, Kini Mangkal di Pasar Alok demi Penuhi Kebutuhan Sekolah Anak

Lalu, apakah pemberian susu formula di samping ASI untuk anak adalah sebuah kesalahan? Dokter Robert Soetandio, Sp.A., M.Si.Med., dari Rumah Sakit Pondok Indah-Bintaro Jaya, mengatakan bahwa dalam memenuhi kebutuhan gizi anak, penting bagi orang tua untuk memahami beberapa hal.

“Meskipun ASI tetap menjadi asupan terbaik untuk bayi, terdapat situasi di mana pemberian susu formula menjadi alternatif yang dianjurkan, terutama jika ibu atau anak menghadapi masalah medis tertentu yang menghambat pemberian ASI," jelas Robert.

Dijelaskan Robert, setiap susu memiliki kandungan yang berbeda-beda. “Kecermatan dalam pemilihan susu formula sangat diperlukan agar dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi secara optimal, mendukung tumbuh kembangnya,” pungkasnya.***

Editor: Ade Riberu


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah