Dampak Krisis Iklim di Indonesia terhadap Konsep Pembangunan Berkelanjutan, Begini Kata BPAN FBT

6 Juni 2021, 18:59 WIB
Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) FBT, Adrianus Lawe. /Erick S./FLORES TERKINI/

FLORES TERKINI - Krisis iklim merupakan sebuah perubahan pola dan intensitas unsur iklim dalam periode waktu yang sangat lama, sehingga pemanasan global (global warning) menjadi penyebab utamanya.

Mengikuti dampak perubahan iklim yang terjadi di Indonesia saat ini, Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara (PD BPAN) Flores Bagian Timur (FBT) pun angkat bicara.

Menurut Ketua BPAN FBT, Adrianus Lawe, konsep Pembangunan yang Berkelanjutan untuk pertama kalinya digunakan pada tahun 1987 melalui sebuah laporan berjudul "Our Common Future".

Baca Juga: PBB Canangkan Dekade PBB Tentang Restorasi Kesehatan Ekosistem Mulai Juni 2021 Hingga 2030

Dalam laporan tersebut, didefinisikan konsep pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah usaha untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa harus mengorbankan kebutuhan generasi penerus untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri.

Konsep itu pun mengakui bahwa adanya batasan-batasan lingkungan dalam aktivitas manusia di bumi serta pembangunan juga harus mencakup dimensi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial budaya.

Lanjut Ardi, sapaannya, namun dalam pelaksanaannya, konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia masih terasa jauh dari panggang api.

Baca Juga: Desainer Industri Korea Paeng Min-Wook Kembangkan Teknologi Mata Ketiga, Begini Kegunaannya

"Mengapa demikian, karena selama kurang lebih 15 tahun belakangan ini, rakyat Indonesia tidak dapat keluar dari kemiskinan. Naiknya angka kematian ibu dan anak, kekurangan gizi, diskriminasi akses, dan lebih parahnya lagi terkait kelestarian lingkungan hidup," bebernya, pada Sabtu, 5 Juni 2021.

Selain itu, pemerintah pusat maupun daerah juga telah memberikan kemudahan izin kepada industri ekstraktif untuk mengeruk emas, batubara, minyak, timah, pembabatan hutan, perampasan wilayah kelolah masyarakat dan masyarakat adat, yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia.

"Akibatnya, awal tahun 2021 yang seharusnya adalah pembuka harapan untuk rakyat di seluruh Indonesia, namun apa yang diharapkan ketika terjadi kerusakan lingkungan hidup," terangnya.

Baca Juga: Bansos PKH Tahap II Segera Cair Bulan Juni 2021, Begini Kriteria, Syarat dan Cara Daftarnya

Lebih lanjut Ardi menambahkan, puluhan ribu orang tiba-tiba menjadi pengungsi, ratusan jiwa menjadi korban dan kerugian mencapai triliunan rupiah di semua lini perekonomian.

"Ini sudah darurat, karena dampak bencana itu dirasakan di seluruh wilayah Indonesia. Sebut saja Pulau Kalimantan yang memiliki kerusakan alam paling banyak dan menjadi faktor utama terjadinya banjir bandang," katanya.

Tak hanya itu, tercatat bencana banjir banjir bandang dan tanah longsor juga terjadi di beberapa tempat lainnya seperti, Jakarta, Sumedang, Manado, Papua, Semarang, Pekalongan, Aceh, dan beberapa wilayah NTT yakni, Flores Timur, Lembata, Kupang dan Malaka, yang melumpuhkan semua perekonomian dan transportasi.

Baca Juga: Berbagi Resep Bolu Kukus Karamel Mekar, Praktis Tanpa Oven dan Mixer

"Jadi, tidak ada yang diuntungkan dari semua bencana ini, saat ini krisis iklim sudah terjadi. Kemudian, status siaga dan waspada bencana karena cuaca ekstrim juga sering terjadi belakangan ini di seluruh wilayah Indonesia," tuturnya.

Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak awal tahun 2021 hingga April 2021 juga menyebutkan, 1.006 bencana terjadi di seluruh Indonesia, yang mana didominasi oleh bencana banjir sebanyak 439 kejadian, serta angin puting beliung dan tanah longsor masing-masing 251 dan 205 kejadian.

"Bencana alam ini telah menyebabkan bumi dalam situasi darurat iklim. Bencana ini juga bukan cuma mengancam mereka yang tinggal di pesisir pantai, pinggiran sungai, ataupun yang tinggal di dekat gunung. Tapi di setiap sudut bumi, negara dan semua manusia juga tidak akan luput dari dampak krisis iklim ini," terangnya.

Baca Juga: Roger Federer Sedang Mempertimbangkan untuk Mundur dari Prancis Terbuka, Ini Faktanya

Ardi menjelaskan, industri ekstraktif pun saat ini mulai menyasar ke pulau-pulau kecil, sehingga ketika terjadi kerusakan pada ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil ini, pada akhirnya juga membuka ancaman bencana ekologis bagi warga masyarakat.

Selain itu, perubahan regulasi melalui UU Cipta Kerja Omnibus Law juga pada akhirnya berdampak pada perubahan iklim.

"Jadi, saat ini kita perlu berjuang bersama dengan semua instansi dan berbagai lapisan masyarakat. Sebab, target pencegahan krisis iklim sudah jelas bahwa seluruh negara harus berusaha mencapai emisi Gas Rumah Kaca Nol di tahun 2050, dengan mengurangi kerusakan alam dan membuat hidup yang lebih ramah lingkungan," jelasnya.

Baca Juga: Marcus Ericsson Mengaku Bahagia Melihat Minat Orang Eropa Jatuh Pada Indycar

Untuk itu, pihaknya mendesak pemerintah pusat untuk mencabut semua kebijakan yang dapat merusak lingkungan, serta menyusun kebijakan strategis yang menempatkan keselamatan manusia, satwa dan lingkungan hidup dan hak generasi yang akan datang sebagai prioritas.

Pihaknya juga meminta pemerintah pusat untuk membentuk Tim Khusus (Satgas) yang terbuka dan independen, agar fokus pada penanganan dan pencegahan krisis iklim yang terjadi saat ini.*** (Erick S.)

Editor: Ade Riberu

Tags

Terkini

Terpopuler