Sidang Praperadilan Kasus Dugaan Korupsi di Flores Timur: Kuasa Hukum APB Hamburkan Peluru Pamungkas

- 25 Mei 2024, 20:19 WIB
Tim Kuasa Hukum Pemohon dalam sidang praperadilan kasus dugaan korupsi mantan Wakil Bupati Flores Timur, APB.
Tim Kuasa Hukum Pemohon dalam sidang praperadilan kasus dugaan korupsi mantan Wakil Bupati Flores Timur, APB. /Eman Niron/FLORESTERKINI.com

FLORESTERKINI.com – Penetapan mantan Wakil Bupati Flores Timur  periode 2017-2022, Agustinus Payong Boli alias APB, sebagai tersangka dalam perkara dugaan pidana korupsi pengadaan Sistem Informasi Desa (SID) oleh Tim Penyidik Kantor Kejaksaan Negeri Flores Timur Cabang Waiwerang, dinilai Kuasa Hukum Pemohon praperadilan sebagai bentuk kesewenang-wenangan dan bertentangan dengan asas kepastian hukum.

Hal tersebut ditegaskan Yoseph Pelipi Daton, SH, bersama Farlan Belawa Hurint, SH, Hairun Hery Tokan, SH, dan Silvester Ola Suban, SH, dalam persidangan praperadilan yang digelar Pengadilan Negeri Larantuka, Rabu, 22 Mei 2024 lalu.

Penegasan tersebut merupakan peluru pamungkas yang dihamburkan pihak Pemohon. Seperti apa pendasaran dan kekuatan argumentasi hukum yang digelorakan Kuasa Hukum Pemohon dalam persidangan tersebut?

Hairun Hery Tokan sewaktu membacakan permohonan itu dengan lantang mengungkapkan, Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena itu, azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan tersebut.

“Bukan hanya kita, negara pun telah menuangkan itu ke dalam konstitusi (UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3) yang berbunyi: ‘Negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya, kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam proses penegakan hukum,” daras Hery Tokan.

Hery Tokan melanjutkan, jika ada hal yang kemudian mengesampingkan hukum dan HAM, negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikannya.

Bahkan secara umum, kata dia, sudah diketahui bahwa kepastian menjadi bagian dari suatu hukum. Sebagaimana yang dideraskan Hery Tokan, hal tersebut lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis.

“Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum,” tegas Hery Tokan dengan lantang.

Bagi Kuasa Hukum Pemohon, apabila dilihat secara historis, banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquei mengeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri.

Dari keteraturan itu akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat.

Sembari menyertakan pendapat Sudikno Mertukusumo, Hery Tokan lebih lanjut melantangkan, kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik.

“Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian, bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati,” serunya dengan lantang suara yang terukur.

Menyelaraskan dengan pendapat Oemar Seno Adji ,Hery Tokan seraya meninggikan volume suaranya menandaskan, prinsip legality merupakan karakteristik yang essentieel, sebagaimana yang dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’.

“Demikian misalnya larangan berlakunya hukum pidana secara retroaktif atau retrospektif, larangan analogi, berlakunya azas nullum delictum dalam hukum pidana, semuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip legality,” ujar Hery Tokan.

Tak berhenti di situ, Hery Tokan dengan terus menjaga ritme suaranya melanjutkan, dalam Hukum Administrasi Negara, Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan penyalahgunaan wewenang. Yang dimaksud dengan penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan bertindak sewenang-wenang.

Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan memberikan petunjuk bahwa pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain.

Menurut Sjachran Basah, abus de droit (tindakan sewenang-wenang) adalah perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan.

Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan tujuan dari wewenang tersebut (asas spesialitas).

Selanjutnya, bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan, sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu, dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi: ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, dibuat sesuai prosedur, dan substansi yang sesuai dengan objek keputusan.

Sebagaimana yang telah Pemohon uraikan di atas, bahwa penetapan tersangka pada Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.

Hery Tokan lantas dengan tegas menandaskan, berdasarkan uraian Pemohon dalam permohonan a quo dalam alasan permohonan praperadilan ini, dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut:

  • Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan keputusan yang tidak sah.
  • Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan keputusan yang batal atau dapat dibatalkan.

“Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Hakim Pengadilan Negeri Larantuka yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan sebagai keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum,” tegas Hery Tokan.***

Editor: Ade Riberu


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah