Kalau masyarakat bingung memilih, mereka menawarkan opsi lain serta memberikan kemungkinan-kemungkinan positif dari pasangan calon tertentu.
Salah satu kasus lama yang menyita perhatian publik adalah soal dugaan pencemaran agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM. Jika kita telusuri lebih jauh, peristiwa semacam ini ada muatan politis di dalamnya.
Itu juga merupakan salah satu strategi bola politik yang dimainkan oleh oknum-oknum tertentu, yang berusaha menjatuhkan serta menendang calon politik lain demi menggolkan calon pemimpin yang diusungnya.
Kasus semacam ini menjadi delik yang menegangkan, bahwa negara yang menganut paham demokrasi dan Pancasila sebagai dasar pijaknya, masih amat rentan dengan kasus-kasus politik yang saling menuding dengan membawa nama isu SARA sebagai basis tranformatif yang melatarbelakanginya. Hal ini tentu menciderai hakikat demokrasi dan menodai Pancasila sebagai dasar pijak.
Baca Juga: Perse Ende Raih Trofi ETMC XXXI 2022 di Lembata, Manajer: Kami Bukan Jago Kandang!
Solusi yang Ditawarkan
Berhadapan dengan peristiwa di atas maka ada beberapa hal yang mesti digalakan bersama demi tercapainya politik yang sehat dan mampu menjawabi kepentingan rakyat.
Pertama, perlu menciptakan kompetisi yang sehat. Dengan menciptakan kompetisi yang sehat maka pemimpin membiarkan rakyat secara amat matang mempertimbangkan keputusan yang dibuatnya. Dengan begitu, mereka tidak terprovokasi dalam menjatuhkan pilihannya.
Kedua, sejauh mungkin isu mengenai SARA perlu dihindarkan. Isu mengenai SARA dalam berpolitik sangat sensitif, bahkan dapat menciptakan ruang primordialisme yang kuat di kalangan masyarakat.
Ketiga, menciptakan ‘bola politik’ yang adil. Artinya, tidak ada tim sukses yang membangun kerja sama dengan wasit (Komisi Pemilihan Umum, red) untuk menggolkan pasangan tertentu. Atau, menggunakan strategi money politic untuk mendapatkan massa serta mendepak calon lain dengan menebarkan isu negatif.