Menurutnya, yang lebih memprihatinkan adalah perempuan dan ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik, lebih minim lagi perlindungannya. Ada sekitar 20% atau 10 juta perempuan bekerja sebagai tenaga produksi (pabrik).
“Artinya, anak-anak dari 10 juta ibu ini berisiko tidak mendapatkan ASI secara ekslusif,” ujar Marni.
Karena itu, Marni berharap pemerintah dan para stakeholder dapat mengatasi persoalan ASI dan stunting dari akarnya seperti ekonomi, edukasi masyarakat serta lingkungan dan support system yang baik untuk ibu.
“Tidak hanya perempuan yang bekerja, bahkan ibu rumah tangga pun berisiko gagal memberikan ASI ekslusif, karena banyak faktor. Karena itu yang dibutuhkan adalah regulasi yang melindungi perempuan, terutama ibu bekerja,” imbuhnya.
Nurul Yani, misalnya. Penjual perabot rumah tangga ini mengaku mengalami kesulitan memberikan ASI eksklusif untuk putrinya karena ASI-nya terus-menerus berkurang. Ia bahkan sudah berupaya memenuhi asupan gizi dengan tambahan booster ASI.
Baca Juga: Sinopsis Harus Kawin Episode 3: Intrik Cinta dan Konflik Pribadi yang Semakin Memanas
Namun, tuntutan dan lingkungan kerja tidak leluasa bagi Yani untuk melakukan pumping ASI. Ia akhirnya terpaksa menambahkan susu formula agar kebutuhan gizi putrinya terpenuhi.
“Bagaimanapun saya juga harus bekerja, tidak bisa hanya mengandalkan penghasilan suami saja,” ujar Yani.
Tak jauh berbeda, Nurlaila, seorang karyawan perusahaan teknologi di Jakarta, mengaku akhirnya ia memberikan susu formula untuk anak keduanya saat harus kembali bekerja.