FLORES TERKINI - First Night With Mary adalah sebuah cara untuk mengulas sisi lain dari ziarah hidup ilmuwan terkenal, Stephen Hawking.
Meski ditambahkan dengan sedikit imajinasi penulis, sisi terselubung dari sosok Stephen sebagai pelaku utama bakal menjadi inspirasi yang menarik dari cerpen dengan judul First Night With Mary.
St. Albans adalah tempat kelahiran Stephen pada tahun 1990-an. Waktu itu, Stephen dan keluarganya berada dalam situasi Perang Dunia II yang berkecamuk.
Stephen yang lahir pada 8 Januari 1942 pun sudah mengalami banyak pengalaman traumatis akibat perang tersebut.
Ayah Stephen rupanya menjadi sosok intelektual, dan darah itu mengalir dalam diri Stephen yang ikut menyukai banyak buku bacaan.
Stephen memang berasal dari keluarga yang taat beragama, sehingga secara moral dia berkembang dalam iman yang teguh.
Stephen pun masuk sekolah di St. Albans School. Di sana, dia adalah anak dengan tubuh paling kecil di antara teman-teman lainnya.
Lebih jauh, Stephen sangat disukai lantaran dia adalah anak yang cerdas. Banyak yang menyukai dia karena dia pintar dan cerdas.
Salah satu sosok perempuan yang jatuh cinta dengan Stephen adalah Maria. Maria adalah tetangga Stephen.
Baca Juga: Pengurus Daerah Ikatan Guru Indonesia Flores Timur Periode 2021-2026 Resmi Dilantik
Tapi, hal mengejutkan terjadi. Ada sesuatu yang menimpa Maria. Maria telah pergi menghilang. Mungkin kematian menjemput Maria.
Sementara itu, Stephen ditinggalkan orang tuanya. Dia bergumul sendirian di rumah, tapi dengan aktivitas membaca setiap harinya.
Hingga pada saat yang tak terduga, Maria datang seperti dia masih hidup lalu mampir di rumahnya Stephen.
Hal yang tak dibayangkan Stephen adalah betapa kagetnya dia bahwa Maria yang datang ke rumahnya adalah sosok yang tak bernyawa.
Maria adalah jelmaan masa lalu Stephen yang akhirnya berubah menjadi sebuah buku yang pernah ditulis oleh Stephen.
Berikut selengkapnya cerpen First Night With Mary, menyibak sisi lain ziarah hidup Stephen Hawking dalam sentuhan imajinasi.
FIRST NIGHT WITH MARY
Cerpen Karya Eto Kwuta
Senja Mei memerah di kaki langit St. Albans, London. Langit mendung, lalu mengoyakkan hujan ricik-ricik kecil sambil mengencingi kota katedral yang menyeramkan itu.
St. Albans, kota terpencilku di tahun 1950-an. Kota orang-orang yang mencari keheningan. Keluargaku tiba di tahun ini seperti yang lain, lantaran aku lahir di masa Perang Dunia II. Kehancuran kota sudah terjadi semenjak aku lahir pada 8 Januari 1942.
Usiaku sembilan tahun, dan aku sudah cukup umur untuk melihat segala kehancuran yang merampas semuanya di muka bumi.
Baca Juga: 10 Candi Warisan Leluhur yang Menjadi Simbol Mistis dan Tempat Wisata Paling Unik di Indonesia
Ayahku Frank dan ibuku Isobel adalah dua orangtua yang sungguh-sungguh mempertahankan kehidupan intelektual ortodoks.
Di rumah, pada sudut-sudut kamar di atas meja, tempat tidur, dan di mana-mana, selalu saja ditumpuki buku-buku milik ayah dan ibu, sehingga wajar kalau aku berteman dengan buku-buku, bermain dengan buku, membuka buku, lalu membaca buku-buku.
Ya, keluargaku dibilang penyuka buku yang sedikit kaya, tapi tidak terlalu miskin. Bukan membanggakan diri, tapi itulah prinsip ortodoks yang dipakai oleh ayah dan ibu.
Sebenarnya aku anak dari keluarga ‘rata-rata’, bukan ‘top’. Lantas kami perlu menabung sekedar mengumpulkan sedikit uang untuk liburan musim panas bersama keluarga sambil mengendarai mobil bekas taksi di kota London, sebuah trailer Gypsy kuno dengan cat ala Gypsy yang tidak teralu mencolok.
Aku masuk sekolah di St. Albans School. Itu sekolah terbaik. Tubuhku kecil dan semua tahu itu.
Aku selalu kikuk, secara fisik tidak terkoordinasi, jenis manusia yang mudah dikenal karena begitulah tampang luarku.
Orang menilai aku cerdas, tetapi tidak terlalu cerdas juga menurut diriku sendiri. Begitulah aku. Apa adanya saja.
Baca Juga: Tak Hanya Bersepeda, Ganjar Pranowo Juga Doyan Kuliner, Ini Masakan dan Makanan Favoritnya
***
“Stephen, apa yang kamu suka?” tanya Mary.
“Aku suka warna hitam, Mary,” jawabku singkat.
Aku tak perlu lagi menjawab yang panjang-panjang karena banyak teman menilai cara bicaraku cepat. Kurang jelas ditangkap. Tapi, itu sudah caraku berbicara dengan pola pikir yang nyaris membingungkan orang.
“Hey, ada apa dengan hitam, Stephen?” Mary menggodaku untuk berterus-terang soal kesukaanku yang sederhana ini.
Sedikit saja kujelaskan soal hitam bahwa hitam itu sebuah lubang. Lubang yang dalam dan dahsyat. Lubang itu mematikan dan bisa membunuh. Tapi, di dalamnya terpelihara sunyi.
Mary mendengarku, lalu mengatakan kalau pikiranku terlalu jauh. Aku hanya menghayal tentang keanehan-keanehan yang bisa merusak masa depan.
“Kamu bisa terperangkap sendiri dalam pikiranmu itu,” kata Mary tegas.
“Biarlah...!” kataku singkat.
Baca Juga: Lacak Kasus Sinopsis Love Story Selasa 31 Agustus 2021: Zidan Salip Ken dan Merebut Hati Argadana
Lalu, kami bermain-main dengan permainan yang kuciptakan. Tanpa sadar, sudah malam. Kami jeda. Mary pamit pulang.
Ia mengingatkan lagi supaya aku tidak boleh berpikir yang aneh-aneh, karena ia takut kehilangan seorang sahabat sepertiku. Aku membalasnya dengan sebuah senyuman. Ya, senyum yang ricik.
***
Di rumah, mataku hanya melihat buku-buku. Tak ada teman. Tak ada Mary. Tak ada ayah dan ibu. Mereka di luar rumah sedang bekerja. Aku sendirian. Sendiri saja bermain-main dengan buku-buku.
Lalu, di luar rumah, gerimis masih mengencingi St. Albans dengan ragu. Gerimis ini pun sedang mencumbu malam dengan cemas sekali.
Aku mendengar ledakan dari jauh. Bom yang dijatuhkan dan dentuman senjata yang nyaris meletus di telingaku.
Aku ketakutan! Aku mengambil selimut dan menutup tubuhku yang kecil, lalu berbaring tanpa menutup mata.
“Stephen, Stephen, buka pintu! Buka pintu! Tolonglah!” suara panggilan dari luar rumah.
Aku bangun dan bergegas ke pintu. Pertama, aku ragu hendak membuka pintu. Ragu. Kedua, aku mengenal suaranya.
“Stephen, Stepehen, tolonglah?”
“Siapa?”
“Aku Mary, tolonglah?” katanya seperti ketakutan.
“Oh, maaf,” kubuka pintu dan menyuruhnya masuk cepat-cepat.
Baca Juga: Pantai Dunu di Kabupaten Gorontalo Utara, Tempat Wisata yang Direkomendasikan untuk Relaksasi
Ia tampak kacau. Tubuh manisnya basah. Semuanya basah. Aku bergegas mengambil handuk dan selimut khusus buat tamu.
“Maaf, aku juga ketakutan Mary,” kataku sambil meminta maaf.
Aku dan Mary duduk di kamar tamu. Jendela terkunci rapat. Pintu pun sama. Kulihat wajah Mary tak seperti biasa. Tadi kami bermain ia tampak senang dan bahagia. Sekarang, sudah tidak lagi. Ia berubah.
“Apa yang terjadi, Mary? Jawablah! Tolong!” kulihat air matanya jatuh perlahan.
Baca Juga: Tolak Kebijakan KPK Terkait Istilah Penyintas Korupsi, PRMN Tegaskan Koruptor Itu Garong Uang Rakyat
Gerimis masih saja mengencingi St. Albans sementara Mary menitikkan air mata. Ia mengatakan kalau Highgate, di London utara sudah hancur-lebur oleh bom yang jatuh beberapa menit lalu.
Ibu dan ayahnya ke sana menjenguk nenek dan kakek. Entalah. Apa yang sudah terjadi dengan mereka.
Mary membayangkan kalau mereka sudah mati dan kacau di bawah puing-puing reruntuhan rumah dan bangunan-bangunan yang hancur.
“Jangan menangis,” bujukku. Ia diam. Kami berdua diam.
Lagi-lagi bunyi suara ledakkan dan letusan terus berpagutan dari jauh. Hampir mendekat. Hampir melumat St. Albans dan sekitarnya.
Aku juga sedang mencemaskan ibu dan ayah yang masih belum pulang. Aku dan Mary pun berbaring di tempat tidur yang sama. Sama-sama takut sekali. Lalu, ia memelukku.
“Jangan menangis lagi. Kita menunggu sampai mereka datang, Mary. Pasti mereka datang, Mary,” kataku dengan pasti sambil membujukknya untuk tidur.
Aku seperti seorang ayah, sekaligus ibu yang menggoda Mary supaya tidur. Tanpa menangis. Tanpa kesedihan. Tanpa ketakutan lagi. Akhirnya, ia tertidur.
***
Senja Mei kedua berikutnya, hari yang nyaris sama. Angin tak mau mengajak bercerita dari hati ke hati.
Aku masih terperangkap di rumah bersama dengan Mary. Udara musim perang seperti bau-bau mayat yang mulai membusuk.
“Boleh kumerapat ke dadamu, Stephen?”
Permohonan yang tak terduga. Dan kutolak pun susah sekali.
“Aku mau kau membunuhku, Stephen!” Mary pecahkan senja dengan kata-kata tak bernyawa. Meminta supaya aku berjihad untuknya.
“Stephen, kamu Ortodoks. Aku Muslim. Tak kubiarkan aku mati dengan caraku. Kamu yang harus melakukan ini,” ia merayu.
“Kamu gila...,” kataku.
“Tidak. Ingat kesukaan kamu itu hitam. Aku tahu kamu suka malam-malam begini, ‘kan?” katanya lembut.
Baca Juga: Soroti Kerumunan Para Elite NTT di Semau, Ombudsman: Bisa Jadi Preseden yang Ditiru Masyarakat
“Kau kunci kepalaku dengan sebuah percakapan kemarin, Mary?” kuberbicara keras.
Itu hanya sebuah percakapan yang penuh imajinasi. Kubilang begitu karena aku suka menghayal. Aku suka hitam. Gelap. Malam. Aku suka. Tapi Mary yakin itu benar.
“Tidak! Bunuh aku biar kau paham,” katanya.
Kepalaku sudah pening. Rayuan Mary tak masuk akal. Aku membunuhnya? Tidak. Itu tidak mungkin.
Aku baru sembilan tahun. Jika membunuh berarti selamanya aku ada di penjara, apalagi negara sedang ribut saat ini.
Dentuman terus pecah. Langit memerah. Malam dilumuri api dan darah. Dan senja yang memerah masih merona, maka malam pun begitu. Memerah saat aku menatap ke luar jendela. Asap mengepul naik. Tinggi sekali. Jauh dari mata, tapi rasa takut ada di sini.
***
Senja Mei berikutnya lagi di St. Albans. Lonceng katedral yang sunyi dan seram berdentang dari sana. Bunyi-bunyian masih bertukar-tangkap.
Baca Juga: Seluruh Wajah Nissa Sabyan Dipenuhi Perban, Begini Fakta Sebenarnya
Tiba-tiba, tok, tok, tok! Tok-tok yang panjang di muka pintu. Ada yang menggedor pintu dengan keras.
“Mary, Mary, bangun!”
“Siapa mereka?”
“Mungkin ayah dan ibuku, atau ayah dan ibumu. Mereka sudah datang?” kubergegas lari menuju pintu. Membukanya. Kosong. Tak ada siapa dan apa-apa.
“Siapa gerangan yang sudah mengetuk tadi?” aku membayangkan sesuatu yang biasa muncul di kepalaku. Hantu. Itu hantu. Kututup pintu segera dan berlari ke kamar tamu.
“Mary, Mary, kamu di mana?” Tak ada Mary di kamar tamu. Aku bergegas menuju kamar tidurku. Tak ada. Di kamar ayah dan ibu. Tak ada. Tidak ada Mary lagi di semua sudut rumah. Di bawa kolong, lemari, laci, kulkas, tidak ada. Di balik kain, lemari, pakaian, bingkai foto, lukisan, tidak ada juga.
Tiba-tiba, sreeeeeek! Aku mendengar bunyi dari arah jam satu.
Aku melangkah seperti hendak mencuri, menjingkit perlahan. Tak ada bunyi. Sandal tak kupakai. Dan, kuinjak salah satu buku. Buku yang sedang membuka dirinya sendiri. Kakiku sudah berada tepat di atasnya. Lalu, kuangkat kaki perlahan dan berdiri tegak melihat ke bawah.
“Oh, itu kamukah, Mary?” Mary tersenyum padaku.
Aku tunduk mengambil buku itu. Kulihat cover buku. Rupanya sebuah buku kumpulan puisi. Buku itu sudah lama kusimpan di atas lemari. Mungkin, semua yang ada di dalamnya sudah berubah. Entah.***
Tentang Penulis
Cerpen First Night With Mary ini ditulis saat penulis menyelami ziarah rohani di Komunitas PRR Lamahora, Minggu 21 Mei 2017, terinspirasi dari masa kecil Stephen Hawking dan puisi penulis yang dimuat dalam Antologi Puisi Terbaik Pilihan Oase Pustaka berjudul “Malam Pertama, Puisi”, Requiem Terakhir (2016).
Penulis sendiri adalah pegiat sastra di Komunitas Kune Bara Syuradikara, Ende. Kumpulan cerpen penulis telah dibukukan dalam tema “Tungku Haram” (Basabasi, 2020).
Beberapa puisi dan cerpen penulis pernah dimuat di Pos Kupang, Flores Pos, Basabasi.co, Jurnal Sastra Santarang, Voxntt.co, Majalah VOX Ledalero, dan beberapa media daring.
Kini, penulis bekerja sebagai editor dan content creator di Pikiran Rakyat Media Network (PRMN).***