"Dalam kebersamaan hidup selalu menjalin persaudaraan, rukun dan damai antara satu suku dengan suku yang lain (tutu ra'an pati kakan, marin raan beda arin, kakan keru arin bake, kakan dike arin sare)," urai Siprianus Wokal.
Kerukunan yang terjalin menghendaki sebuah budaya kearifan lokal yang baik pula. Selanjutnya dijelaskannya bahwa saudara sulung mereka menjadi Belen Raya (tuan tanah) akibat dari sejarah kawin-mawin yang diserahkan oleh etnis Beta Wato-Leo Lama Lingi.
Hal ini nampak dalam mantra seremonial adat di mana terungkap: Lewo kamen doan moko lali Sikka pada naga, tanah kamen lela se lali lado wolo koli, tanah mopo-ekan mue rabe sera soron, nein nate, mekan ma'an gati kewae menu ma'an helo ana, uh'er tobi ta'a, kelika sira demon s'en ra'e ata beta beta wato leo lama lingi.
Suku Krowin (Soge Lakarowe Kewa Kala Midi) tetap membawa warisan budaya leluhurnya, yaitu Tun Wulan Wai Kayo, Pi'in Mi'in Padan Madan, yang menghendaki orang tua laki-laki, orang tua perempuan dan anak gadis harus berpantang atau berpuasa atas makanan baru yang tumbuh saat musim tanam seperti jagung, padi, sorgum, jewawut, labu kuning, semangka, dll. Pantangan lain adalah perilaku hidup yang bertentangan dengan norma adat yang ada.
Suku Krowin juga memiliki keunggulan lain yaitu membasmi hama tanaman yang menyerang tanaman di musim hujan dengan menggunakan ramuan yang tradisional melalui seremonial adat yang biasa disebut Pelea.
Baca Juga: Tenaga Honorer Tak Diangkat Secara Otomatis Jadi ASN, Ini 7 Syarat dari Kemenpan RB
Pencegahan terhadap hama tanaman ini juga dilakukan setiap tahunnya dengan melibatkan Ribu Ratu Lewo Lewahe (masyarakat).
Ritual ini merupakan salah satu aset budaya dari sekian banyak aset budaya yang ada di Lewo Lewahe Desa Sulengwaseng yang terus dilestarikan hingga saat ini.***