Sekilas Sejarah Tarian Adat Lepa Bura di Sulengwaseng, Ternyata Ini Asal Mula Kisahnya

- 23 April 2022, 16:42 WIB
Gadi-gadis penari tarian adat Lepa Bura.
Gadi-gadis penari tarian adat Lepa Bura. /Max Werang/Max Werang/FLORES TERKINI

FLORES TERKINI - Lepa Bura adalah sebuah tarian massal yang dilakukan oleh anak perempuan yang berusia remaja.

Tarian Lepa Bura ini dilaksanakan di area perkampungan adat Lewahe (Lewo Waseng Lama Duran, Tana Teta Lela Kirin, Lewo Padawolo, Tana Wai Lolon), Desa Sulengwaseng, Kecamatan Solor Selatan, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Menurut tutur lisan tokoh adat setempat, tarian Lepa Bura bertujuan untuk menghimpun para gadis (kebarek: sebutan untuk gadis dalam bahasa setempat).

Baca Juga: Kapal Jelajah Berpeluru Kendali Moskva Ditenggelamkan Armada Ukraina: 27 Awak Hilang, 1 Tentara Tewas

Para gadis tersebut kemudian secara bersama-sama akan mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih kepada yang Maha Kuasa (Bapa Kelake Lera Wulan, Ema K’wae Tana Ekan), sebagai sumber pengasal karen kasih dan penyertaan-Nya sehingga mereka mampu menjalankan puasa atau pantang (mi'in) dengan baik dan sukses.

Selain itu, tersirat juga makna syukuran bersama atas keberhasilan melalui hasil panen yang diperoleh.

Dijelaskan bahwa, tarian Lepa Bura didominasi oleh tepukan tangan dan tempik sorak dalam setiap gerakannya, pekikan budaya Lamaholot (sebutan untuk rumpun suku di Flores Timur) dengan girang, riang gembira oleh para gadis remaja tersebut.

Baca Juga: TERKINI! Sinopsis Ikatan Cinta Sabtu 23 April 2022: Gawat, Andin dan Ammar Terjebak dalam Lift

Salah satu tokoh masyarakat Desa Sulengwaseng, Siprianus Dowa Wokal, dalam narasinya menggambarkan bahwa yang tertuang dalam syair pantun (hoy'a moy'a) mengisahkan tentang  sejarah asal usul suku tertentu yang ada di kampung  adat ini.

"Pada masa lampau nenek moyang etnis Soge Lakarowe, Kewa Kalamidi (Suku Krowin) yang bernama Raya Mai Nau, Tuan Mau Koli, melakukan pelayaran dari Sika Paga Maga-Lado Wolo Koli (Maumere) bersama keluarganya meninggalkan tanah kelahirannya karena lingkungan sebagai tempat kelahiran mereka tidak lagi bersahabat," ujar Siprianus Wokal dengan penuh semangat membara.

Siprianus Dowa Wokal, Tokoh Masyarakat Desa Sulengwaseng, Solor Selatan.
Siprianus Dowa Wokal, Tokoh Masyarakat Desa Sulengwaseng, Solor Selatan. Max Werang/FLORES TERKINI

Lebih lanjut dikisahkannya, di wilayah mereka terjadi perang saudara yang mengakibatkan perpecahan di antara mereka.

Oleh karena peristiwa itu, mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka dengan melakukan perjalanan yang panjang melalui laut dengan berlayar untuk mencari jejak saudara sulung mereka yang telah mendahuluinya meninggalkan tanah kelahiran mereka, yakni etnis Soge Buko Pu'an-Bayo Belo Ele (Suku Melur).

Baca Juga: Rossa Kembalikan Uang Jutaan Rupiah, Pemberian dari DNA Pro sebagai Honor Manggung di Bali

Dalam pelayarannya, mereka menyempatkan diri singgah di sebuah kampung yang bernama Lewo Maku Lama Ole, Tanah Ole Doro Doan (Desa Lewotana Ole, sekarang).

Namun mereka tidak menetap di sana. Perjalanan pelayaran mereka diteruskan kembali dan akhirnya mereka berlabuh di sebuah pantai yang bernama A'i mula wato-nama hadi kayo.

Selanjutnya mereka diterima oleh Raya Deo Ine Ama, Tua Wason Wayon Nama, dari suku Melu Tanah Tawa, Muki  Ekan Gere, Melu Ile Jadi- Muki Woka Dewa, Kepitan Ile, sebagai orang tempatan yang mendiami Lewo Waseng Lama Duran Tanah Teta Lela Kirin (Desa Sulengwaseng saat ini).

Baca Juga: TERBARU! Sinopsis Buku Harian Seorang Istri Sabtu 23 April 2022: Dewa dan Lia Hilang Kontak, Apa yang Terjadi?

Siprianus Wokal kembali mengisahkan bahwa saudara sulung mereka juga diterima oleh etnis yang sama dan di tempat yang sama pula. 

"Dalam kebersamaan hidup selalu menjalin persaudaraan, rukun dan damai antara satu suku dengan suku yang lain (tutu ra'an pati kakan, marin raan beda arin, kakan keru arin bake, kakan dike arin sare)," urai Siprianus Wokal.

Kerukunan yang terjalin menghendaki sebuah budaya kearifan lokal yang baik pula. Selanjutnya dijelaskannya bahwa saudara sulung mereka menjadi Belen Raya (tuan tanah) akibat dari sejarah  kawin-mawin yang diserahkan oleh etnis  Beta Wato-Leo Lama Lingi.

Baca Juga: Terbitkan Surat Edaran Terbaru tentang Halal Bi Halal Idul Fitri 2022, Mendagri Tegaskan 4 Poin Penting Ini

Hal ini nampak dalam mantra seremonial adat di mana terungkap: Lewo kamen doan moko lali Sikka pada naga, tanah kamen lela se lali lado wolo koli, tanah mopo-ekan mue rabe sera soron, nein nate, mekan ma'an gati kewae menu ma'an helo ana, uh'er tobi ta'a, kelika sira demon s'en ra'e ata beta beta wato leo lama lingi.

Suku Krowin (Soge Lakarowe Kewa Kala Midi) tetap membawa warisan budaya leluhurnya, yaitu Tun Wulan Wai Kayo, Pi'in Mi'in Padan Madan, yang menghendaki orang tua laki-laki, orang tua perempuan dan anak gadis harus berpantang atau berpuasa atas makanan baru yang tumbuh saat musim tanam seperti jagung, padi, sorgum, jewawut, labu kuning, semangka, dll. Pantangan lain adalah perilaku hidup yang bertentangan dengan norma adat yang ada.

Suku Krowin juga memiliki keunggulan lain yaitu membasmi hama tanaman yang menyerang tanaman di musim hujan dengan menggunakan ramuan yang tradisional melalui seremonial adat yang biasa disebut Pelea.

Baca Juga: Tenaga Honorer Tak Diangkat Secara Otomatis Jadi ASN, Ini 7 Syarat dari Kemenpan RB

Pencegahan terhadap hama tanaman ini juga dilakukan setiap tahunnya dengan melibatkan Ribu Ratu Lewo Lewahe (masyarakat).

Ritual ini merupakan salah satu aset budaya dari sekian banyak aset budaya yang ada di Lewo Lewahe Desa Sulengwaseng yang terus dilestarikan hingga saat ini.***

Editor: Max Werang


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah